…..”Terima kasih Bapak Prabowo, mungkin bapak salah baca atau salah dengar, semua tahu koperasi adalah soko guru ekonomi. Tidak mungkin Jokowi ngomong itu,”…..
Sengaja saya kutip ulang penggalan sanggahan Presdien Joko
Widodo (Jokowi) saat masih berstatus calon presiden pada “Debat Capres’ yang
disiarkan stasiun televise, 6 Juli 2014. Khalayak gerakan koperasi mungkin
masih ingat dengan fragmen tanya jawab itu, yaitu saat calon presiden Prabowo
Subianto, melalui informasi yang didapat, menyebut Jokowi menganggap koperasi
tak diperlukan.
Dalam kampanye dihadapan sejulah nelayan Indramayu, 17 Juni
2014, Jokowi memang “meragukan” kapasitas koperasi yang dianggapnya tidak cukup
membantu para nelayan dan petani dalam hal permodalan. Jokowi menemui fakta,
tak sedikit bantuan permodalan untuk koperasi hanya dinikmati kalangan
pengurus. Di situ titik kritik Jokowi berawal. Dan bukan benar-benar akan
menegaskan peran koperasi.
Untuk yang satu ini, ikhwal pengurus koperasi yang
keblinger, memang bukan rahasia lagi. Itu seperti apa yang lebih satu decade
sila di umpamakan pakar koperasi (Alm) Ibnoe Sudjono sebagai “koperasi
merpati”. Setelah jagung ditebar merpati berkerumun, begitu makanan habis dan
lambung kenyang terbanglah merpati.
Jokowi tidak sepenuhnya keliru, dengan menyodorkan fenomena
bantuan koperasi yang diselewengkan oknum pengurusnya. Tapi dia juga tidak
sepenuhnya tepat manakala menyarankan agar bantuan permodalan untuk petani dan
nelayan diserahkan langsung ke petani dan nelayan yang jadi target. Langkah ini
tidak mendidik untuk jangka panjang.
“Cooperatives is education…” demikian Bapak Koperasi
Indonesia Mohammad Hatta pernah berujar. Nelayan dan petani yang bergabung
dalam koperasi sejatinya adalah individu yang berhasrat mendidik diri sendiri
secara kolektif untuk menjadi pintar mengatasi persoalan ekonomi, social dan
kulturalnya. Alhasil, meniadakan peran koperasi sama saja artinya dengan
mencerabut kesempatan petani dan nelayan untuk menjadi warga negara terdidik
yang tidak gampang dibodohi. Saya condong agar Jokowi mengevaluasi fungsi dan
peran menteri koperasinya. Tidak
seperti seperti yang sudah-sudah. Termasuk didalamnya adalah
menjauhkan kementerian koperasi dari aktivitas politik. Koperasi dalam
sejarahnya di negeri ini terbukti sangant rentan dipolitisi.
Tak mengagetkan denga apa yang pernah disampaikan Menteri
Koperasi dan UKM Syarifudin Hassan beberapa pecan menjelang berakhirnya masa
jabatannya sempat mengemukakan niatnya untuk mengevaluasi lebih dari 60 ribu
koperasi tidak aktif dari lebih 200 ribu koperasi di Indonesia. Agak naïf
memang, mengevaluasi (antara pilihan merevitalisasi dan membubarkan) data
manakala jumlah koperasi yang bermasalah sudah mencapai 60 ribu. Apa saja yang
dilakukan selama ini?
Seorang peneliti perkoperasian malah merilis anga lebih
mengejutkan : 70 persen koperasi kita mati suri. Sekitar sepuluh ribu saja yang
sehat. Tak perlu malu mengakuinya.
Mungkin era Jokowi bisa dipertegas lagi. Sehingga “Revolusi Mental” juga bisa
mengimbas ke gerakan koperasi. Siapa Tahun. (Priono).
Sumber : Majalah Warta
Koperasi Edisi 260/ Nopember 2014.
0 komentar:
Posting Komentar